Jumat, 07 Mei 2010

SEJARAH GARUDA PANCASILA

Menurut lampiran pada Peraturan Pemerintah No.55 Tahun 1951, lukisan Garuda diambil dari khasanah peradaban Indonesia. Garuda tergambar pada beberapa candi sejak abad ke-16, sebagai Lambang Tenaga Pembangunan seperti dikenal pada peradaban Indonesia.
Burung Garuda dari mitologi nenek moyang Indonesia berdekatan dengan burung elang Rajawali. Burung ini dilukiskan di candi Dieng, Prambanan, dan Panataran. Di Dieng dilukiskan sebagai manusia berparuh burung dan bersayap. Di Prambanan dan candi-candi Jawa Timur bentuknya berparuh, berambut panjang, dan menyerupai raksasa.
Raja Erlangga menggunakan tokoh garuda sebagai materai kerajaannya. Lambang itu diberi nama Garudamukha. Sekarang materai Garudamukha disimpan di Museum Nasional Jakarta dengan kode penyimpanan No : D-16. Bahwa raja-raja Indonesia sudah sejak lama memakai lambang ini diketahui juga di barat. Dalam sebuah buku tentang lambang kerajaan. Yang terbit sekitar tahun 1453 berjudul “Des Conrad Gruenenberg, Ritters und burgers in Conztanzwappenbuch, vollbrachtam nuenden Tag des abrellen, do man zaelt tusend vier hundert drue und achtzig jar” membuat lambang “Kaisar Jawa” memperlihatkan seekor burung phoenix di atas api unggun. Sedangkan “Kaisar Sumatera” memakai lambang rajawali digambar dari samping dengan kedua cakarnya mengarah ke depan.
Pasal 5 lampiran ini menyebutkan bahwa kata “Bhina” dan “ika” kalimat seluruhnya dapat diterjemahkan “Berbeda-beda tetapi satu jua”. Kedua kata itu sering menimbulkan salah tafsir. Orang mengira bahwa “ika” itu adalah satu. Padahal hanya kata petunjuk yang berarti “itu”. Kata lain masih hidup dalam bahasa daerah Jawa Timur. Bhinna ika (digabung menjadi Bhinneka), Tunggal Ika. Terjemahan harfiah : “Beda itu (tetapi) satu itu”.
Semboyan ini diambil dari kitab Sutasoma karangan Empu Tantular dari pertengahan abad ke-14. Kata-kata ini dipakai Tantular untuk menjelaskan faham sinkretis antara Hinduisme dan Buddhisme yang menjadi aliran pada zaman itu. Lengkapnya ialah : “Siwatattwa lawan buddhatattwa tunggal, bhineka tunggal ika, tanhana dharma mangrwa” (Siwa dan Buddha itu satu, dibedakan tetapi satu, tidak ada ajaran agama yang bersifat mendua).
Burung Garuda menjadi lambang Negara RI berdasarkan peraturan Pemerintah No.66 tgl 17 Oktober 1951. Tetapi telah berlaku sejak tanggal 17 Agustus 1950. berbentuk Burung Garuda yang di dadanya tergantung perisai dengan “lima simbol”, yang lazim disebut dengan Pancasila.
Hingga sekarang pencipta lambang Garuda Pancasila belum diketahui, meskipun pernah disebuta nama-nama tertentu, seperti Mr. Moch. Yamin dan Sultan Hamid II. Kedua tokoh itu pernah menjabat sebagai Ketua Panitia Lencana Negara di masa kabinet RIS (Republik Indonesia Serikat).

Lambang Garuda Pancasila Dirancang Seorang Sultan

Sejak duduk di Sekolah Dasar, warga Indonesia telah mengenal dan mengetahui bahwa burung Garuda adalah lambang negara. Namun tak banyak yang tahu siapa pencetus ide dan perancang lambang negara itu

Dari penelusuran di internet, salah satunya dimuat wikipedia.org menyebutkan, perancang lambang Garuda ini adalah seorang Sultan dari bumi Kalimantan. Blog milik seorang bernama Aidavyasa di multiply.com juga memuat kisah ini.

Dia adalah Sultan Hamid II, yang terlahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung sultan Pontianak, Sultan Syarif Muhammad Alkadrie. Syarif Abdul Hamid lLahir di Pontianak tanggal 12 Juli 1913. Dalam tubuhnya mengalir darah Indonesia, Arab. Semasa kecil, ia pernah diasuh perempuan berkebangsaan Inggris. Istrinya adalah perempuan Belanda yang kemudian melahirkan dua anak yang kini bermukim di Belanda.

Syarif menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. HBS di Bandung satu tahun, THS Bandung tidak tamat, kemudian KMA di Breda, Belanda hingga tamat dan meraih pangkat Letnan pada kesatuan Tentara Hindia Belanda.

Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret 1942, ia tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Ketika ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945 dia diangkat menjadi sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II.

Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil daerah istimewa Kalbar dan selalu turut dalam perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di Indonesia dan Belanda.

Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran.

Pada 21-22 Desember 1949, beberapa hari setelah diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio, Westerling yang telah melakukan makar di Tanah Air menawarkan “over commando” kepadanya, namun dia menolak tegas. Karena tahu Westerling adalah gembong APRA.

Selanjutnya dia berangkat ke Belanda, Namun saat kembali pada 2 Januari 1950, dia merasa kecewa atas pengiriman pasukan TNI ke Kalimantan Barat karena tidak mengikutsertakan anak buahnya dari KNIL.

Pada saat yang hampir bersamaan, terjadi peristiwa yang menggegerkan; Westerling menyerbu Bandung pada 23 Januari 1950. Sultan Hamid II tidak setuju dengan tindakan anak buahnya itu, Westerling sempat marah.

Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, dia diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio dan selama jabatan menteri negara itu ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara.

Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu penyerahan file dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara. Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara.

Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis M Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.

Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang.

Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan "Bhineka Tunggal Ika".

Tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis.

Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri.

AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “gundul” dan “'tidak berjambul”' seperti bentuk sekarang ini.

Inilah karya kebangsaan anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950.

Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno.

Tanggal 20 Maret 1940, bentuk final gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk final rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini.

Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974. Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Kraton Kadriyah Pontianak.

Hamid II diberhentikan pada 5 April 1950 karena diduga bersengkokol dengan Westerling dan APRA-nya.Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang.

Seseorang di blog Aidavyasa menambahkan informasi, kepala Garuda gundul dikoreksi Sukarno karena dianggap terlalu mirip dengan Bald Eagle, elang dari Amerika.

Untuk diketahui, Thailand juga menggunakan gambar Garuda sebagai lambang negara. lambang negara. Garuda adalah bahasa sanskerta yang merupakan salah satu dewa dalam agama Hindu dan Budha. Bangsa Jepang juga mengenal Garuda, yang mereka sebut Karura. Di Thailand disebut sebagai Krut atau Pha Krut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar